Puisi

Hanya kata
Ketika kita menghela nafas pertama di dunia.
ketakutan yang sangat, menjadi ekspresi pertama.
redah usai mendengar lantunan adzan ayah kita.
dengan tangisan, menyapa fase kehidupan selanjutnya.

Menginjak remaja,angan melambung tak terbantah.
terbang menembus cakrawala menggenggam dunia,
menyeruak hasrat, membakar norma dan tatanan agama.
sambil menunggu kala redup masanya.

Dewasa tiba menghampiri kegundahan,
mengusap lembut kegelisahan,
menyiram sejuk aroma menyengat kehilafan,
menuntun dan mengajarkan untuk fase yang akan datang.

Umur panjang bukan jaminan.
kekayaan takkan dapat membeli kematian.
kejayaan dunia hanya sementara,
karena masa akan dengan gagah menggilasnya.

Selamat ulang tahun sahabatku.
hari ini telah diambil jatah umurmu.
semoga bertambah berkah jatah yang tersisa,
bertambahlah dewasa dan taat kepada-Nya.

Maafkan aku sahabatku.
aku tak bisa berikan boneka kesukaanmu,
atau kotak yang terikat pita warna biru.
hanya kata yang aku tau untukmu sahabatku.
Qowa
Tertatih meniti hati
Keindahan dalam pandangan mata tentang dunia.
Kaburkan hakikat yang tersirat di sana
Meski tersurat telah nyata
Jua engkau bercinta dengannya.  
Menikmati nikmat yang sesaat
Mengagungkan panglima sesat
Memberi jalan tuan laknat
Dengan sadar menolak kebenaran nasehat.

Lupakan keinginan bercinta dengannya
Sulut Bara tekad di dinding hati yang lama hampa
Bentangkan keberanian untuk melawan dan menghindar
Pagar rapat-rapat hingga tanpa celah.

Gemuruh aliran darah mengalir basahi sungai jiwa
Mahkota nahkoda kembali dari lembah nista
Mantapkan tujuan yang sempat kehilangan arah
Meski tertatih meniti kuatnya arus samudra.
Qowa
Senja Jakarta
Ketika senja memerah di ujung kota
di balik awan tersembunyi berjuta rahasia
rahasia yang belum terpecahkan oleh logika
logika yang tiada mampu menggapainya.

Bising deru roda kesibukan jakarta berpacu
tak perduli walau beribu peluh dan debu bersatu
tak perduli meski di ujung sana sedang remang memerah
seolah tiada mendengar panggilan hakikat jiwa.
 
Qowa 

Kubangan Hitam
 Menggengam bara keangkuhan jiwa yang tiada padam oleh kata bijak
Terus membakar dan menghanguskan benteng-benteng kelembutan
Apakah karena sungai kasih yang tiada mengalir di bagian jiwa yang terbuang.
Ataukah karena telah terkoyak oleh tajamnya cakar paradigma yang salah…??

Laksana seekor kura-kura yang ingin keluar dari dalamnya sumur jahanam
Yang tiada seorangpun mampu untuk melihat, mengerti bahkan hanya sekedar tahu
Karenakah dia tidak mampu berteriak atau tidak mau berteriak lantang
Hingga tidak tahu sampai kapan akan terus berkubang 
Ada sesuatu yang menjerit dan terus berontak untuk keluar dari kubangan ini
Kubangan hitam yang melelahkan dan membuat tubuh semakin lunglai
Adakah tali yang kuat untuk mendaki dan keluar meraih dataran
Hingga bisa berlari, berteriak menyongsong gemilang masa depan…
Qowa  

Sampai Kapan?

Betapa diri ini adalah gudang kesalahan
Betapa diri ini adalah endapan kemaksiatan
Betapa diri ini adalah bongkahan kecongkakan
Betapa diri ini adalah kedurhakaan.

Telah diberikan kenikmatan yang sangat
Telah diberikan kekayaan yang tiada tertukar
Telah diberikan tuntunan yang benar
Telah diberikan kemerdekaan dan kebebasan.

Menyukai hal yang sesungguhnya kesulitan
Menyukai hal yang sebenarnya membahayakan
Menyukai hal yang pada dasarnya kesengsaraan
Menyukai hal yang hakikatnya adalah penyesalan.

Masihlah jua belum berakal dengan benar
Masihlah jua belum berucap kejujuran
Masihlah jua belum berlaku kebaikan
Masihlah jua belum memilih dengan benar.

Sampai kapan?
Qowa

Hati Lembutmu Sahabatku.

sungguh adalah berbudi luhur...
semoga bertambah berkah hidupmu.
sungguh adalah kelembutan hati...
anak yang patuh akan perintah nabi.


Ibu adalah malaikat
malaikat yang berkorban demi kebahagiaan kita,
malaikat yang mengajarkan kita untuk mengenal Tuhan,
malaikat yang meneteskan air mata dikala kita sakit,
malaikat yang selalu merindukan dikala kita jauh.

masihlah jauh dari itu...
selaksa kata yang takkan pernah mampu
untuk melukiskan betapa Ibu.....

tetaplah dalam niat luhurmu,
tetaplah dengan hati lembutmu,
tetaplah dalam kesejukan ridlo Tuhanmu.
karena ridlo Tuhan adalah ridlo ibu.

adalah syurga itudi sana
di bawah telapak kaki ibu...

teruslah bersemangat 

pantang menyerah menghadapinya.
 
Qowa  

Berteriak

Masalah datang tanpa diundang
Menghantam dinding pertahanan
Serasa terkoyak perih tertahan dalam.

Hampir tenggelam oleh kerasnya gelombang
Hampir binasah oleh hunusan petir malam
Namun di sini terus bertahan....!

Kali ini aku ingin berteriak...
Berteriak...berteriak...
Berteriak menantang malam  
 Qowa

Sunyi Berkarat

Jiwa-jiwa yang di dalamnya terdapat pedang sunyi yang terhunus
Yang setiap saat bisa menancap jantung dan merobek tirai
Setipis ari tirai itu, karena belum jua hadir sang penyulam rindu.

Bertengger di dahan waktu
Tiada mampu mengurai sunyi
Terdiam mengecap rindu yang mendayu.

Coba menghindarinya dengan berlari
Coba menghalaunya dengan berteriak
Namun masih jua dia menemaniku di sini

Wahai engkau penyulam rindu dengan selendang putih
Cepatlah engkau hampiri dan ambil pedang ini
Tak kuasa lagi aku tertisuk oleh sunyi yang berkarat.

Karena perihnya sudah tiada terkira
Hingga hampir aku tiada sanggup mengerti dan merasa
Mengerti akan kasih sayang dan perhatian manusia.
 Qowa

Sepi

Mendapati diri sendiri
Dalam sunyi siang dan malam
Telah berlalu bulan dan tahun
Tetaplah belum berubah

Bukan tidak berusah
Bukan pula tidak berdo’a
Namun yang didamba jua belum ada
Yang diharap belum jua bersua.

Pernah dulu ada yang menancap di jantung hati
Dengan tulus segalanya aku telah berikan
Sejuta harap bergelantung di sana
Sebab manisnya madu yang semu

Pahit menjadi manis
Asin menjadi tawar
Namun madu menjadi empedu
Terhalang dari yang sebenarnya

Semua hilang
Berlalu bersama kebusukan
Bersama pahit linang air mata
Membekas karat sakit yang terperih

Mungkin itu yang membuat ini terjadi
Meski sungguh ingin lari
Semoga ada tempat
Untuk diri ini tidak kesepian lagi. 
 Qowa